Lewis A Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Ia menggabungkan karier
akademik yang istimewa dengan perhatian kuat atas kebijakan sosial dan
politik. Setelah perang dunia II, ia mengajar di Universitas Chicago dan
Universitas Brandeis, namun gelar Ph.D-nya didapat dari Universitas
Columbia pada 1968. Gelar guru besar didapat dari Universitas Brandeis,
kemudian di Universitas ini pula Coser banyak berkiprah di dunia
sosiologi.
Kegiatan di luar kampus yang sangat mendukung academic performance
Coser adalah ketika 1975 ia terpilih menjadi presiden American
Sociological Association (ASA). Karya Coser yang sangat fenomenal dan
monumental adalah The Functons of Social Conflict. Dalam buku ini,
terdapat 16 Proposisi yang dikutip dari Georg Simmel untuk kemudian
dikembangkan menjadi penjelasan-penjelasan tentang konflik yang menarik.
Dari proposisi-proposisi Simmel, Coser mengkritik dengan cara
menghubungkan pada perkembangan fakta atau fenomena yang terjadi jauh
ketika Simmel hidup.
Tidak jarang ia mengkritisi pandangan Simmel dengan cara
membandingkan dengan gagasan sosiolog-sosiolog klasik. Ia juga
menambahkan dengan gagasan seperti dinyatakan ahli psikologi ternama,
seperti Sigmund Freud. Hal yang menarik dari Coser adalah bahwa ia
sangat disiplin dalam satu tema. Coser benar-benar concern pada satu
tema-tema konflik, baik konflik tingkat eksternal maupun internal. Ia
mampu mengurai konflik dari sisi luar maupun sisi dalam. Jika
dihubungkan dengan pendekatan fungsionalisme yang telah kita pelajari
sebelumnya, tampak ada upaya Lewis Coser untuk mengintegrasikan
fungionalisme dengan konflik. Georg Ritzer mengatakan bahwa dalam
melakukan kombinasi itu, baik teori fungsionalime maupun teori konflik
akan lebih kuat ketimbang berdiri sendiri. Coser juga aktif sebagai
kolummnis di berbagai jurnal, Tulisan Coser yang terkenal adalah Greedy
Institutions (institusi tamak). (1)
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi
yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori
fungsionalis dan teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui
beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus,
suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi
dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan
analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi
kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan
konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta
mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan
perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori
menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa
setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang
mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia-
sia. (2) Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile
Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. (2) Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan
mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi
dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel
sebagai berikut:
- Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa. (2)
- Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan
proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan
kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. (2)
IKATAN KELOMPOK DAN PEMELIHARAAN FUNGSI-FUNGSI KONFLIK SOSIAL
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. (3)
Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok
dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
(3)
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi
suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di
dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk
tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas
geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena
konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas
strukturalnya. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja
kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik
pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan
gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). (3) Perang yang
terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat
identitas kelompok Negara Arab dan Israel. (3)
KATUP PENYELAMAT
Katup penyelamat atau safety valve ialah salah satu mekanisme khusus
yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. “katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur
tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan
suasana” dalam kelompok yang sedang kacau.
Coser melihat katup penyelamat
berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa
itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan
semakin menajam. (3) Katup Penyelamat (savety-valve) ialah salah satu
mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari
kemungkinan konflik sosial. (3) Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem
atau struktur. (3) Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser, Lewat Katup
penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek
aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi
sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan system untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah
maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan
kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen.
Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik
tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
KONFLIK REALISTIS DAN NON REALISTIS
Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dan yang tidak realistis.
- Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-
tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek
yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja
agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. (3)
- Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-
tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam
masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib
seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju
melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan
kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. (3)
Banyak individu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan
prasangka terhadap “orang-orang miskin penerima bantuan kesejahteraan
sosial” (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang
diperoleh dengan susah payah. Tetapi yang sebenarnya terjadi ialah bahwa
sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya
dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan
pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin.
Dengan demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik
dan non-realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh
sentiment-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena
pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang
lain.
PERMUSUHAN DALAM HUBUNGAN-HUBUNGAN SOSIAL YANG INTIM
Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik
reaistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Sebagai contoh adalah: Dua
pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian
setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang
menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing
secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi
setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke
restoran untuk membicarakan masa lalu. Contoh-contoh dimana konflik
tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya terdapat pada
hubungan-hubungan yang bersifat parsial atau segmented, daripada
hubungan yang melibatkan keseluruhan pribadi pada peserta.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang
intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan
lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat
suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam,
sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder,
seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif
bebas diungkapkan. (4) Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-
hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat
pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. (4) Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas
sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang
kekasih.
ISU FUNGSIONALITAS KONFLIK
Coser Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang
terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari
hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi
bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan
interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. (5) Bila konflik dalam
kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik
in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. (5) Coser sangat menentang para ahli sosiologi
yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. (5)
Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat
struktur sosial. (5) Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa
ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu
hubungan. (5)
KONDISI YANG MEMPENGARUHI KONFLIK DENGAN KELOMPOK LUAR (OUT-GROUP) DAN STRUKTUR KELOMPOK
Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok-luar akan membantu
pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok
luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser
(1956:92-93) berpendapat bahwa “tingkat konsensus kelompok sebelum
konflik terjadi” merupakan hubungan timbal balik paling penting dalam
konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. (6) Coser
menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok mirip sekte itu tergantung
pada penerimaan secara total selurh aspek-aspek kehidupan kelompok.
Untuk kelangsungan hidupnya kelompok “mirip-sekte” dengan ikatan tangguh
itu bisa tergantung pada musuh-musuh luar. Konflik dengan
kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi
konflik ini sering (sebagaimana yang telah kita lihat dengan berbagai
hubungan emosional yang intim) berdasar atas isu yang non-realistis. (6)
Coser mengutip berbagai contoh fenomena itu dari catatan-catatan
historis mengenai kelahiran serta perkembangan serikat-serikat buruh.
Akan tetapi contoh yang sama dapat diitemukan pada bangsa yang sedang
berperang, paada kelahiran sekte keagamaan atau diantara
kelompok-kelompok politik ekstrim di suatu Negara. Sementara kontroversi
internal tidak dapat ditolerir, misalnya di antara kelompok-kelompok
keagamaan mirip sekte seperti “The Children of God”, perjuangan kelompok
tersebut melawan kaum kafir mungkin memperkuat kemampuannya untuk
menarik serta memperahankan orang-orang yang baru masuk agamanya.
Bilamana perjuangan yang membawa kelompok demikian untuk memperhatikan
media perkabaran tiba-tiba terhenti, Coser mengatakan musuh-musuh baru
mungkin mencoba untuk lebih memperkuat perkembangan dan peningkaan
kohesi kelompok-kelompok yang demikian tak hanya mencapai identitas
struktural lewat oposisi dengan berbagai kelompok luar tetapi dalam
perjuangannya juga mengalami peningkatan integrasi dan kohesi. Bilamana
contoh tentang “The Children of God” itu dilanjutkan maka kita dapat
melihat penjelasan dari proposisi yang berhubungan dengan ideology dan
konflik. Para anggota sekte terebut sering digambarkan sebagai kelompok
fanatik. Singkatnya, bilamana terdapat consensus dasar mengenai
nilai-nilai inti yang ada dalam suatu kelompok maka konflik dengan
berbagai out-groups dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok.
Coser menyatakan bahwa kelompok-kelompok pejuang yang diorganisir secara
kaku mencari musuh demi mempermudah kesatuan dan kohesi mereka. (6)
Dengan demikian jelas bahwa fungsionalisme tahun 1950-an, yang
terfokus pada masalah integrasi, telah mengabaikan isu konflik di dalam
masyarkat. Pendekatan ini cenderung melihat konflik bersifat mersak dan
memecahbelah. Coser menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana
bagi keseimbangan kekuatan, dan lewat sarana demikian kelompok-kelompok
kepentingan melangsungkan masyarakat. (6)
KRITIK TERHADAP STRUKTURALISME KONFLIK
Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang
berbeda dari kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian
cermat atas karyanya terlihat bahwa Coser tetap memiliki komitmen dengan
pandangan teoritis yang utama. Sumbangan Coser pada teori yang tetap
terikat pada tradisi fungsionalisme itu, walaupun tidak seketat model
naturalis, dapat dilihat dari asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan
masyarakat yang implicit tercakup dalam teorinya. Coser mengatakan bahwa
dia lebih menganggap teori konflik sebagai teori parsial daripada
sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia
sependapat dengan Robin William yang menyatakan “masyarakat aktual
terjalin bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan, oleh
sosiabilitas dan oleh paksaan….tugas yang sesungguhnya ialah menunjukkan
bagaimana berbagai proses serta struktur sosial aktual yang berjalan di
sana dapat diramalkan dan dijelaskan. (7) Pandangan Coser tentang teori
sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori
konflik maupun konsensus yang parsial. Teori-teori parsial demikian itu
merangsang para pengamat sehingga peka terhadap satu atau lebih
perangkat data yang relevan bagi penjelasan teoritis yang menyeluruh.
(7)
Dalam tradisi Durkheim, yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta
sosial, sosiologi harus menggunakan fakt-fakta sosial lainnya, Coser
mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indicator
obyektif untuk menjelaskan realitas sosial. Bagi Coser realitas bukan
merupakan realitas subyektif seperti rumusan Charles Horon Cooley atu
George Herbert Mead, tetapi realitas obyektif seperti yang dimaksud oleh
Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya. Dengan demikian orang
dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan
kreativitas. (7)
Jelaslah bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa
struktur sosial ada di dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai
kendala. Coser mengungkapkan “sosiologi konflik harus mencari
nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang tertanam secara
struktural sehingga membuat manusia saling terlibat dalam konflik,
bilamana ia tidak ingin larutkan kedalam penjelasan psikologis mengenai
agresivitas bawaan, dosa turunan, atau kebengalan manusia. Apa yang
disumbangkan Coser kepada orientasi fungsionalisme ialah deskripsi
mengenai bagaimana struktur-struktur sosial itu dapat merupakan produk
konflik dan bagaimana mereka dipertahankan oleh konflik. Proposisinya
sebagian besar berkisar di seputar intensitas dan fungsi konflik bagi
lembaga-lembaga sosial.
Walaupun Coser terikat pada kesatuan teori masyrakat yang ilmiah,
tetapi dia menolak setiap gerakan kearah naturalism atau determinisme
yang ekstrim pada setiap tindakan manusia. Pendekatan ini terlihat dalam
orientasi metodologisnya yang bebas menggunakan sejarah sebagai sumber
data untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya. Seperti banyak
karya-karya yang disebut sebagai teori dalam sosiologi, karya Coser juga
mengandung kelemahan-kelemahan metodologis. (7)